Minangkabau termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di
wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat.
Nagari ini dulunya masih berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah
peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari Minangkabau. Peristiwa apakah itu?
Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau/Asal Usul nama Minangkabau:
sumber: http://onlyhdwallpapers.com/ |
Dahulu, di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama
Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan
bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika,
ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa Kerajaan
Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi tersebut tidak membuat
para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
“Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari,
tapi kalau terdesak kita hadapi,” demikian semboyan para pemimpin Kerajaan
Pagaruyung.
Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah
daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan
Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur strategi penyerangan ke
Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para pemimpin Pagaruyung
pun segera mengadakan sidang.
“Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan
mata. Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang memimpin sidang
tersebut.
“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita hadapi
mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul panglima perang
kerajaan.
“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,” sanggah Penasehat Raja,
“Jika kita serang mereka dengan pasukan besar, pertempuran sengit pasti akan
terjadi. Tentu saja peperangan ini akan menyengsarakan rakyat.”
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun
segera menenangkannya.
“Tenang, saudara-saudara!” ujar sang Raja, “Saya sepakat dengan
pendapat Paman Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak
menelan korban jiwa?”
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam.
Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu,
mereka tidak sabar lagi ingin mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian,
Penasehat Raja itu pun angkat bicara.
“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan
darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita sambut mereka di
perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika mereka menolak, barulah kita
tantang mereka adu kerbau,” ungkap Penasehat Raja.
“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja, “Bagaimana pendapat
kalian semua?”
“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya, sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi
untuk mengalahkan musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan
kepada putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan
dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo
Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan kelembutan.
Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano kepada anak-anak
gadisnya serta para dayang istana.
Setelah semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak
gadisnya serta dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan
pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk menjamu
pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung terlihat
sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di
perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di tempat itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,” sambut Datuk Tantejo
Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari Kerajaan Pagaruyung.
Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan di istana. Tapi sebelumnya,
silakan dicicipi dulu hidangan yang telah kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa
lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.”
Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi
terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut
oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh
puluhan wanita-wanita cantik yang membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para
wanita cantik tersebut, pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan
serangan hingga akhirnya menerima tawaran itu.
Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan
beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke
istana untuk menemui sang Raja.
“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!” bujuk Datuk
Tantejo Garhano dengan santun.
“Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian,” jawab pemimpin
pasukan itu.
Setiba di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin
pasukan itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya
terlihat sedang duduk menunggu.
“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja, “Mari, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.
“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang Raja pura-pura tidak
tahu.
“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami
pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab pemimpin itu.
“Oh, begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami
tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau.
Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita.”
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak,
akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab
pemimpin itu.
Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika
kerbau milik sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi,
jika kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa
dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran
kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan
tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat,
dan tangguh. Sementara itu, sang Raja memilih seekor anak kerbau yang masih
menyusu. Namun, pada mulut anak kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk
kerucut. Sehari sebelum pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat
lapar dengan cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di
sebuah padang yang luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang
berkumpul di pinggir arena untuk menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung
sengit tersebut. Kedua belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan
pada kerbau aduan masing-masing.
“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!” teriak penonton
dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!”
Suasana di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan
telah dibawa masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton
dari kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas,
kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak kerbau
milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena
mengira induknya.
Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan
besi runcing yang terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah
beberapa kali tusukan, kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan
terkapar di tanah. Melihat kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak
gembira.
“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian teriak mereka.
Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan
tersebut. Mereka pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara
itu, berita tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok
negeri. Kata “manang kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan
di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi kata
“minang”. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau, yaitu sebuah
nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri
Pagaruyung merancang sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai
bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan
Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.
Asal Mula Nama Nagari Minangkabau
Kali ini, sambil menunggu surat edaran dan pengumuman waktu seleksi
Paskibraka untuk kabupaten bekasi, brigadista akan menghantarkan sebuah cerita
yang berasal dari daratan sumatera, tepatnya daerah sumatera barat. Sebuah
cerita terbentuknya/asal mula Minangkabau (bukan tentang sejarah
Paskibra/paskibraka Minangkabau).
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik
Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut
kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara
Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh,
dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang
seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi
Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut
kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu
sendiri). (sumber: Wikipedia.org)
Minangkabau termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di
wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat.
Nagari ini dulunya masih berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah
peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari Minangkabau. Peristiwa apakah itu?
Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau.
Dahulu, di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama
Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan
bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika,
ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa Kerajaan
Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi tersebut tidak membuat
para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
“Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa
dihindari, tapi kalau terdesak kita hadapi,” demikian semboyan para pemimpin
Kerajaan Pagaruyung.
Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah
daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan
Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur strategi penyerangan ke
Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para pemimpin Pagaruyung
pun segera mengadakan sidang.
“Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan
mata. Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang memimpin sidang
tersebut.
“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita hadapi
mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul panglima perang
kerajaan.
“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,” sanggah Penasehat Raja,
“Jika kita serang mereka dengan pasukan besar, pertempuran sengit pasti akan
terjadi. Tentu saja peperangan ini akan menyengsarakan rakyat.”
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun
segera menenangkannya.
“Tenang, saudara-saudara!” ujar sang Raja, “Saya sepakat dengan
pendapat Paman Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak
menelan korban jiwa?”
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam.
Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu,
mereka tidak sabar lagi ingin mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian,
Penasehat Raja itu pun angkat bicara.
“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan
darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita sambut mereka di
perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika mereka menolak, barulah kita
tantang mereka adu kerbau,” ungkap Penasehat Raja.
“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja, “Bagaimana pendapat
kalian semua?”
“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya, sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi
untuk mengalahkan musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan
kepada putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan
dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo
Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan kelembutan.
Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano kepada anak-anak
gadisnya serta para dayang istana.
Setelah semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak
gadisnya serta dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut
kedatangan pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk
menjamu pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung
terlihat sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa
terjadi.
Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di
perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di tempat itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,” sambut Datuk Tantejo
Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari Kerajaan Pagaruyung.
Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan di istana. Tapi sebelumnya,
silakan dicicipi dulu hidangan yang telah kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa
lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.”
Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi
terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut
oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh
puluhan wanita-wanita cantik yang membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan
para wanita cantik tersebut, pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan
serangan hingga akhirnya menerima tawaran itu.
Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan
beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke
istana untuk menemui sang Raja.
“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!” bujuk Datuk
Tantejo Garhano dengan santun.
“Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian,” jawab pemimpin
pasukan itu.
Setiba di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin
pasukan itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya
terlihat sedang duduk menunggu.
“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja, “Mari, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.
“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang Raja pura-pura tidak
tahu.
“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami
pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab pemimpin itu.
“Oh, begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami
tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau.
Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita.”
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak,
akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab
pemimpin itu.
Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika
kerbau milik sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi,
jika kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa
dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran
kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan
tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat,
dan tangguh. Sementara itu, sang Raja memilih seekor anak kerbau yang masih
menyusu. Namun, pada mulut anak kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk
kerucut. Sehari sebelum pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja
dibuat lapar dengan cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di
sebuah padang yang luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang
berkumpul di pinggir arena untuk menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung
sengit tersebut. Kedua belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan
pada kerbau aduan masing-masing.
“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!” teriak penonton
dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!”
Suasana di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan
telah dibawa masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton
dari kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas,
kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak kerbau
milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena
mengira induknya.
Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan
besi runcing yang terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah
beberapa kali tusukan, kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan
terkapar di tanah. Melihat kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun
bersorak-sorak gembira.
“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian teriak mereka.
Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan
tersebut. Mereka pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara
itu, berita tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok
negeri. Kata “manang kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan
di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi kata
“minang”. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau, yaitu sebuah
nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri
Pagaruyung merancang sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai
bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan
Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.
http://www.brigaspad.org/
Posting Komentar