Kota Padang sumber: http://efitra.mywapblog.com/ |
Pada Abad ke-14 (1340—1375) di Minangkabau ada sebuah kerajaan
dibawah pemerintahan Adityawarman. Pada masa itu wilayah Padang cuma dikenal
sebagai kampung nelayan, orang menyebutnya Kampung Batung. Ketika itu Padang
diperintah oleh Penghulu Delapan Suku dengan sistim pemerintahan nagari.
Sekitar abad ke-15 dan 16 kerajaan Aceh dibawah pemerintahan Iskandar Muda
meluaskan wilayah kekuasaan dan perdagangannya sampai ke pesisir pantai barat
Minangkabau seperti Tiku, Pariaman, dan Indrapura. Padang sebagai daerah pantai
masa itu telah disinggahi oleh pedagang–pedagang dari daerah lain yang akan
terus ke Aceh.
Akhir abad ke-16 masa jaya Kerajaan Aceh mulai turun, daerah-daerah
yang dikuasai kerajaan Aceh mulai melepaskan diri, dan pada waktu bersamaan di
nusantara ini mulai beroperasi perusahaan dagang Belanda, dikenal dengan nama
VOC (Verenigde Ost Indisehe Company). VOC menerapkan politik devide at impera
(pecah belah) dalam perluasan perdagangan dan kekuasaannya. Akibatnya timbul
ketegangan masyarakat di kota-kota pesisir pantai Sumatera. Kerajaan Aceh
dipropaganda oleh VOC seolah akan menguasai Padang. VOC berdalih membantu masyarakat
menghadapi Aceh. VOC menyadari dan melihat Padang sangat strategis dan
dijadikan pusat perdagangan dan pe-merintahan. Pulau Cingkuak, dan Batang Arau
lebih baik dijadikan sebagai daerah pelabuhan. Melalui penghulu terkemuka
Padang yang bernama Orang Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan loji pertama
pada tahun 1667 di kota Padang. Inilah titik awal Padang tumbuh sebagai sebuah
kota. Tidak cuma sebagai pelabuhan tetapi juga sebagai pusat perdagangan.
Gudang-gudang besar mulai dibangun untuk tempat pengumpulan barang. Pelabuhan
Muara begitu sibuk melayani arus perdagangan, sehingga wilayah ini tumbuh
menjadi pusat pemukiman.
Belanda tidak saja meluaskan perdagangannya melalui VOC, tetapi
mulai dapat memerintah masyarakat. Dari Muara Padang ini pusat pemerintahan dan
per-dagangan Belanda digerakkan ke seluruh pelosok Sumatera bagian tengah.
Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dikalangan rakyat. Rakyat merasakan bahwa
Belanda tidak lagi berdagang, tetapi sudah menjajah. Rakyat mulai melakukan
perlawanan. Puncaknya terjadi pada tanggal 7 Agustus tahun 1669 di mana
masyarakat Pauh dan Koto Tangah berhasil menguasai loji-loji Belanda di Muara
serta banyaknya Belanda yang dibunuh. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai
tahun kelahiran Kota Padang. Setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi kota
Padang. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Pada tahun 2006 ini kota Padang telah
berusia 337 tahun, persisnya tanggal 7 Agustus 1669 - 7 Agustus 2006. Berbagai
bentuk pembangunan dilaksanakan. Derap langkah pembangunan terus dilakukan
untuk mewujudkan kesejahteraan warga.
Padang sedang berbenah diri untuk menjadi kota industri, kota
perdagangan dan kota pariwisata. Saat ini Padang sudah termasuk kota besar.
Potensi dan letaknya yang strategis menjadikan Padang sebagai pintu gerbang
wilayah barat pulau Sumatera. Posisi yang strategis itu mengakibatkan
pertumbuhan dan perkem-bangan kota berlangsung cepat. Tidak berlebihan kiranya
kalau dikatakan Padang sebagai ”titik simpul” bagi per-tumbuhan dan
perkembangan Indonesia di wilayah Barat Sumatera, apalagi sarana dan prasarana
lalu lintas darat, laut dan udara semakin memadai.
Visi Kota Padang yaitu ”Terwujudnya Kota Padang sebagai pusat perekonomian
dan pintu gerbang perdagangan terpenting di Indonesia bagian Barat tahun 2008”.
Hal ini dapat diwujudkan karena Padang memiliki cukup banyak sumber daya alam
dan sumber daya manusia. Faktor yang mendorong Kota Padang sebagai pusat
perdagangan adalah karena di daerah sekitarnya ter-dapat hasil bumi dan hasil
tambang yang strategis yang diharapkan dapat dipasarkan melalui kota Padang,
terutama wilayah bagian barat pulau Sumatera.
Dalam lima tahun terakhir perdagangan berskala besar, menengah dan
kecil menunjukkan perkembangan yang megembirakan. Hal ini dapat dilihat dari
fakta yang ada dengan meningkatnya jumlah perusahaan per-dagangan dari 24.500
tahun 2002 menjadi 27.132 pada tahun 2005. Hal ini juga didukung dengan
dibangunnya pusat-pusat perdagangan serta terus dikembangkannya pasar-pasar
yang telah ada. Pemerintahan Dalam perjalanan sejarahnya, pemerintahan di Kota
Padang mengalami pasang surut. Hal ini dimulai dari zaman Belanda, Jepang dan
Proklamasi kemerdekaan RI.
Di zaman Belanda (VOC) di samping sebagai sebuah kampung nelayan
Padang juga sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Waktu itu Batang Arau
merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera. Pada masa VOC daerah
ini berada dalam Onmder afde link Conterliur Van Padang dibawah lingkungan
kekuasaan Pejabat Bumi Putra Regen Padang. Sehingga Padang memiliki dua fungsi,
sebagai pusat perdagangan dan pusat kegiatan penjajah Belanda. Padang bahkan
dijadikan daerah kedudukan residen atau kepala pemerintahan untuk daerah
Sumatera barat. Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Padang sebagai sebuah
wilayah tetap setia berada dibawah pemerintahan RI.
Melalui ketetapan Gubernur Sumatera Barat tanggal 17 Mei 1946 No
103 Padang ditetapkan menjadi kota besar. Walikota Padang pertama adalah,
Mr.Abubakar Ja’ar (1945—1946), menjabat beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan
menjadi residen di Sumatera Timur. Selanjutnya Padang dipimpin oleh Bagindo
Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal sebagai Walikota Pejuang. Beliau gugur
tanggal 17 Juli 1947 di tangan penjajah Belanda. Setelah Bagindo Aziz Chan
gugur, Belanda me-lakukan agresi I, akibatnya secara de fakto Belanda menguasai
Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang dipindahkan ke Padangpanjang dengan
walikotanya Said Rasyad (1947). Pemerintahan Said Rasyad berlangsung tidak lama
karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya adalah Dr.A.Hakim
(1947—1949) dan me-merintah tidak terlalu lama. Setelah pemulihan kedaulatan RI
tahun 1949 Padang dipimpin oleh Dr. Rasyiddin sebagai walikota yang ke lima
(1949-1956 ) Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15
Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu
daerah otonom. Walikota keenam (1956—1958), Pada tahun 1958-1966 Padang
dipimpin oleh Z.A.St.Pangeran sebagai walikota ke tujuh. Berikunya walikota
Padang adalah Drs. Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971
Padang dipimpin oleh Drs.Achirul Yahya yang merupakan Walikota ke sembilan
Dengan keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah,
kota Padang di samping daerah otonom ,juga merupakan wilayah administratif
dikepalai oleh seorang walikota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang
ke sepuluh adalah Drs. Hasan Basri Durin (1971—1983). Sesuai dengan PP No. 17
Tahun 1980 Padang diperluas menjadi 694,96 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan
193 kelurahan. Setelah Drs. Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya
sebagai walikota Padang, maka diangkatlah Syahrul Ujud,SH sebagai Walikota Kota
Padang kesebelas dengan kepemimpinannya selama sepuluh tahun (1983—1993).
Berakhirnya kepemimpinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet kepemimpinan kota
Padang diserahkan kepada Drs. Zuiyen Rais, MS (1993—2003) yang merupakan
Walikota Padang ke dua belas. Sejak 2003 sampai sekarang, dua kali periode,
Walikota Padang adalah Drs. Fauzi Bahar, Msi, walikota ke-13 dan ke-14.
http://dindaaratnaa.blogspot.com/
Posting Komentar