 |
Al Hallaj |
Antara Syekh Siti Jenar Dan
Al-Hallaj A. PENDAHULUAN Ada apa dengan cinta? Itu sebuah lagu yng
sempat tenar beberapa tahun yang lalu. Tapi sekarang yang lagi tenar yaitu ada
apa dengan syekh Siti Jenar{SSJ}? Kalau kita jalan-jalan ke toko buku yang
lengkap dan besar seperti Gramedia atau yang lain, maka akan terpajang
buku-buku yang membahas tentang tokoh SSJ, baik tentang asal-usulnya, ajaranya,
maupun cerita-cerita mistik tentang SSJ.[1] Begitu banyak versi buku SSJ baik
judul, model penulisannya [ada yang seperti novel[2] serta seperti karya
ilmiah] maupun banyaknya para penulis maupun penelitinya. Menjadi sebuah tanda
tanya besar dimana tokoh SSJ diangkat bahkan diblok up secara berlebihan, tidak
sedikit pula tokoh-tokoh liberal ikut mengusung tokoh SSJ ini seperti Abdul
Munir Mulkan[3], Ahmad Chozjim[4] (bahkan sampai menulis dua seri). juga
pengarang lain yang terkenal juga dalam dunia buku terutama mistik jawa seperti
Dr. Purwadi, M.Hum[5], Agus Sunyoto[6], Muhammad Sholihin, dan masih banyak
lagi. Sebenarnya ada apa dibalik tokoh SSJ ini ? Setiap penulis mempunyai gaya
dan corak dalam memahami tokoh ini, tetapi yang menarik yaitu bagaimana seorang
intelek seperti Prof. Abdul Munir Mulkan dapat menulis tokoh SSJ dengan versi
mistik. Ada beberapa paparannya tentang tokoh ini yang tidak bisa diterima
dalam akal atau ilmiah tapi itu diangkatnya seperti bagaimana asal-usul SSJ,
Abdul Munir Mulkan dalam bukunya pada hal 51 menulis bahwa asal-usul SSJ dari
seekor cacing hasil dari kutukan bapaknya yang sakti mandraguna lalu dibebaskan
oleh Sunan Bonang, lalu SSJ dapat merubah dirinya menjadi bencok putih(hal 53)
dikarenakan keinginannya belajar kepada Sunan Giri, juga tentang cerita
kematian SSJ ini dibungkus dengan cerita yang sangat mistik[7]. Yang lebih
fatal dalam bukunya tersebut yaitu tuduhan terhadap Wali Songo yang sangat keji
yaitu tuduhan adanya kepentingan politik Wali Songo untuk menyingkirkan SSJ
karena di anggap menjadi ancaman sebagai ulama negara, juga tuduhan tetang
menyembah jazad SSJ setelah melihat ada keajaiban pada jazadnya lalu mengganti
jazadnya dengan seekor anjing yang korengngen, sungguh mustahil bagi Wali Songo
melakukan perbuatan tersebut. Dalam beberapa versinya Ahmad Chozjim, Purwadi
[yang katanya kaum intelek] juga tidak jauh berbeda, apalagi buku-buku SSJ yang
beredar di Jawa Timuran akan lebih kental nuansa mistiknya dari pada ilmiahnya.
Walau ada beberapa penulis seperti Muhammad Sholihin, menulis dalam versi yang
agak ilmiah dan membantah hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi lepas dari
beberapa versi tersebut SSJ merupakan tokoh yang kontroversial, bahkan keberadaanyapun
menjadi perdebatan. Beberapa ahli sejarah menyakini bahwa tokoh SSJ ini fiksi
belaka seperti pendapat Ahmad Mursidi[8] , dia mempunyai hipotesis bahwa kisah
SSJ adalah kisah fiktif bernuansa perlawanan miring terhadap Islam sebagaimana
kisah serat Darmogandul, serat Gatholoco, serat Wali Wolu Wolak Walik dan
lain-lain. Dugaan Ahmad Mursidi dinyatakan sebagai berikut : “Dengan munculnya
Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama hindu, Budha dan
animisme yang melakukan terang-terangan. Mereka lalu membuat berbagai cerita
simbolik, misalnya Gatholoco, Darmoghandul, Wali Wolu Wolak Walik, Syehk Bela
Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu
kebetulan dapat didomplengkan kepada salah satu anggota Wali Songo yang
terkenal yaitu Sunan Kalijogo. Jadi SSJ sebenarnya hanya sebuah gerakan anti
reformis, anti perubahan dari Hindu Budha Jawa ke Islam. Oleh karena itu isi
gerakan itu selalu sinis terhadap Islam. Dan hanya diambil potongan-potongan
yang secara sepintas tampak tidak masuk akal”. Ada juga yang menganalisa
kemunculan tokoh ini karena ada rasa dendam dari orang Hindu-Budha karena
berkembangnya Islam di tanah Jawa bahkan berdiri kerajaan Islam pengganti
Majapait, lalu di imajenerkan dengan tokoh Al-Hallaj yang ada di Bagdad. Di
sini penulis tidak akan menerangkan tentang tokoh SSJ secara mendetail[9],
karena banyaknya literatur tentang SSJ dengan berbagai versi dan gaya penulisan
serta misi apa yang dibawa kaum liberal kenapa tertarik dengan SSJ walau dengan
sebuah cerita mistik, tetapi penulis akan mengungkap siapa itu Al-Hallaj ?
Literatur tentang Al-Hallaj sangat jarang kita temui baik dikitab-kitab kuno
maupun di toko buku, juga tokoh ini dianggap menjadi guru atau inspiratornya
SSJ atau memang cerita Al-Hallaj ini imajenerkan dengan tokoh buatan di tanah
Jawa yaitu SSJ. Lepas dari persoalan fakta atau fiksi SSJ tetapi ada kesamaan
dalam ajarannya maupun nasibnya yaitu sama-sama divonis mati penguasa[10].
Sehingga dengan mengungkap siapa Al-Hallaj dapat membuka tabir misteri antara
Syekh Siti Jenar dari Jawa dengan Manshur Al-Hallaj dari Baghdad. B. LATAR
BELAKANG MASALAH 1. Al-Hallaj [AH] dan tasawuf Dunia tasawuf dalam ajaran
Islam, selalu saja menarik perhatian para pengkaji agama, karena aliran mistis
Islam ini {sebutan lain bagi tasawuf yang diberikan para orientalis barat}
banyak sekali mengandung “kontroversial” yang tercemin baik secara ajaran
maupun perilaku para penganutnya {sufi}. Apalagi jika ajaran ini ditinjau dari
kacamata syari’at yang dianut kebanyakan umat Islam. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika berbagai kajian mengenai hal ini, sampai kini masih saja
menjadi salah satu tema yang menghiasa berbagai majelis. Secara etimologi kata
tasawuf ini mengandung banyak pengertian. Diantaranya ada yang mengartikan
sebagai “bulu yang sangat banyak” (at-tasawuf), ada pula yang mengartikan
sebagai “barisan” (shaf). Selain dua arti tersebut ada juga yang mengartikan
sebagai kesucian (shafa) dan sebagainya, yang masing-masing disandarkan pada dalil-dalil
yang kuat[11]. Akan tetapi pada dasarnya adalah bahwa tasawuf merupakan sebuah
aliran / ajaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung
dengan Tuhan[12]. Hubungan yang dimaksud dalam hal ini adalah hubungan yang
penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada dihadirat Tuhannya. Kesadaran
tersebut akan mengantarkan manusia menuju kontak komunikasi dan dialog antara
Ruh manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ittihad (penyatuan diri). Kebutuhan
akan hal ini oleh para sufi memerlukan ritual-ritual khusus dengan melalui
berbagai tahapan(maqam), karena dianggab bahwa ritual-ritual yang biasa
diselenggarakan secara formal bagi mereka belum memenuhi kebutuhan
spiritualnya. Hal inilah yang menjadikan para pelaku tasawuf berbeda-beda dalam
usaha pemenuhan dan juga pemaknaan dalam ritual khusus yang mereka lakukan
tersebut, meski secara garis besar adalah sama. Sebut saja sebagai misal
seperti al-Ghozali dengan ma’rifatnya, Rabiyah Al-Adawiyyah dengan mahabbahnya,
Abu Yazid al-Bustamillah dengan fana dan baqonya, juga al-Hallaj dengan
al-anfusiyah. Seperti telah disebutkan di atas, mesti dalam puncak petualangan
mistiknya (maqom) mengalami berbagai penamaan, akan tetapi esensi dasar dari
apa yang mereka ajarkan adalah penyatuan diri dengan Tuhan. Disini penulis akan
menerangkan secara singkat siapa itu al-Hallaj (AH) dan ajaran Ittihad dalam
dunia tasawuf yang dia kembangkan dan diajarkan. Banyak hal yang bisa
dipelajari dari paham ini, baik dari segi ajaran maupun para pelaku ajaran
tersebut – Hallajian – yang banyak sekali mengundang perdebatan publik yang
berpuncak pada berakhirnya hidup al-Hallaj ditiang gantungan oleh pemerintah
pada waktu itu. 2. Siapa al-Hallaj (AH) Al-Hallaj merupakan salah satu seorang
pelaku tasawuf yang mungkin namannya termasuk dalam daftar sufi yang paling
kontroversial diantara lainnya. Mulai dari kehidupanya, ajarannya bahkan sampai
kematiannya[13]. Al-Hallaj lahir sekitar tahun 244 H/588 M dengan nama Abul
Mughist al-Husayn bin Mansyur di Thir bagian distrik Bayda (Fars) Persia.
Ayahnya seorang penyotir Wool (Hallaj), yang senang berimigrasi dari satu
tempat ke tempat lain, terutama di daerah Arab. Karena senangnya
berpindah-pindah mengikuti ayahnya ini, ia sering disebut sebagai seorang
Ansharian (Yaman) yang telah ter-arab-isasi(mawali). Sejak usia belia ia telah
mengenal berbagai cabang pengajaran, hingga pada usia 16 tahun ia telah
menyelesaikan pendidikanya dalam bidang tata bahasa, Qur’an dan tafsir sebagai
murid Sahl ibn Abdullah Thustari (seorang tokoh sunni). Dua tahun kemudian ia
meninggalkan Thurtar dan pergi ke Basyrah. Disana ia menikah dengan seorang
wanita Basyrah bernama Ummul Husayn binti Abu Ya’qub Aqta’. Pada saat ini pula
ia mulai menjalani hidup sebagai sufi dan berpetualangan keberbagai tempat serta
berkunjung ke berbagai majelis termasuk majelis-majelis duniawi (abna
al-dunya), hingga ia kembali ke Thustar dan mulai ceramah-ceramahnya di depan
umum. Dalam ceramahnya ia banyak mengajarkan tentang suara-suara hati (tirai
hati) yang harus disibakkan. Sejak saat itu ia sering disebut sebagai
“penyingkap suara hati” (Hallaj al-Asrar) dan nama al-Hallaj sejal saat itu
mulai melekat padanya. Sekitar tahun 270 Hallaj pergi ke berbagai tempat
(India, Khurasan, Mawarah, dan Thurkistan) untuk melaksanakan misi-misi
sucinya. Dalam perjalanan ini pula, berbagai julukan sempat melekat padanya,
diantaranya ; al-Mughit (sang penasehat) saat di India, al-Mukid (sang
pemelihara) saat di Thurkestan dan Masin, dan al-Mumayyis (sang bijaksana) saat
di khurasan, Abu Abdallah al-Zahid (Abu Abdallah sang asketis) saat ia di Fars
dan Hallaj al-Asrar (penyingkap tirai hati ) saat di khurazistan. Setelah
kembali dari perjalanan ini ia kemudian melaksanakan haji yang ketiga kalinya
dan mulai menyebarluaskan ajarannya. Mulai saat itu pula berbagi pertentangan
mulai timbul secara terbuka yang dimulai dari Muhammad Ibn Dawud bersama para
ulama lain termasuk para sufi lainya. Pertentangan ini pada akhirnya sampai
pada khalifah al-Mu’tadid yang kemudian juga mengeluarkan fatwa larangan
terhadap ajaran Hallaj. Bersamaan dengan berbagai tantangan ini, berbagai
sebutan miring juga melekat padanya seperti ; dukun, orang gila, bahkan
mertuannya (Aqta’) sempat menuduh bahwa ia membuat perjanjian-perjanjian magic
dengan jin. Tetapi disisi lain masih ada juga sekelompok yang mengagumi dan
memuji terhadap ketulusan dan ibadahnya. Berbagai pertentangan ini berakibat
pada adanya penangkapan al-Hallaj oleh pemerintah saat itu, yang memberi
kewenangan pada Nasr Qusyuri (salah seorang yang anti al-Hallaj) dan kemudian
ia dimasukkan dalam penjara khusus. 3. Al-Hallaj dan konsep Ittihad Pada tahun
292 H, Hallaj telah melaksanakan haji dan umrohnya yang ke tiga kalinya, ia
kembali pada pengikutnya di Thustar (Baghdad). Pada saat itu juga ia melakukan suatu
ritual aneh yaitu dengan membuat miniatur Ka’bah (tepatnya di Qoti’at al-Rabi’)
dan merayakan sendiri segala aturan haji termasuk Ta’rif dan Ied al-Qurban.
Kembalinya ia ke Baghdad ini berarti pula telah berakhirnya pengembaraan yang
dilakukan selama ini. Sejak saat itu ia berkosentrasi dalam penyebaran ajaran
tasawufnya pada penduduk Baghdad. Penyebaran ajaran ini menimbulkan berbagai
kekacauan dikalangan masyarakat Baghdad. Inti dari ajaran al-Hallaj adalah
tentang perlunya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai salah satu
jalan utama menuju ittihad (kefanaan)[14]. Hal ini seperti khotbah yang pernah
ia sampaikan ; “ Selamatkan aku dari Tuhan, wahai orang-orang muslim.......
Tuhan telah memberikan padamu darahku yang sah menurut hukum, Cepat, Bunuhlah
aku ; Niscaya engkau menjadi pejuang dalam perang suci, Dan aku seorang
martir........... “ Bunuhlah aku manusia terkutuk ini” Dalam khotbah
lanjutanya, Hallaj juga berseru pada Tuhan : “ Ampunillah setiap manusia, tapi
jangan engkau ampuni aku......... Lakukan apapun yang engkau inginkan atasku”
Secara paradoksial, jelas dari gambaran khotbah diatas tersirat ajakan untuk
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan sekaligus nilai-nilai kesucian ILLAHI
meskipun harus menghancurkan diri demi kebaikan umat. Secara sekilas ajaran
ittihad al-Hallaj tidak jauh berbeda dengan umumnya para penganjur tasawuf,
yaitu adanya pendekatan antara makhluk dengan Tuhanya. Dalam ajaran al-Hallaj
dikenal bahwa Tuhan memiliki sifat Luhut dan Nasrut, demikian juga manusia.
Manusia dapat menghilangkan sifat nasutnya (kemanusiaannya) apabila mampu
mencapai kefanaan. Dengan hilangnya sifat kemanusiaan ini dikontrol oleh sifat
luhut (ke-Tuhan-an) yang merupakan inti dari kehidupan[15]. Sedangkan fana itu
sendiri secara garis besar bagi al-Hallaj mengandung 3 aspek : 1. Fana dalam
semua keinginan jiwa ( Aku ingin untuk tidak mengingini) 2. Fana dalam fikiran,
perasaan dan perbuatan dengan hanya tersimpul pada Allah ( Aku tidak ingin dari
Tuhan kecuali Tuhan ) 3. Fana dalam semua kekuatan pikiran dan kesadaran ( Maha
suciaku, Mahasuci aku, Mahabesar aku ). ( Akulah Kebenaran ). Pada saat Hallaj
mengucapkan kalimat-kalimat diatas jelas sudah lepas dari kontrol
kemanusiaannya. Ini merupakan puncak dari keagungan tertinggi yang diajarkan
al-Hallaj[16]. Ana ‘I Haqq merupakan sebuah kalimat yang sangat lekat dalam
diri al-Hallaj sampai sekarang ini. Kalimat itu pula yang memancing kemarahan
besar umat Islam terutama kaum ulama sunni, pemerintah juga para sufi lainnya,
karena dinilai telah meresahkan masyarakat yang akan menimbulkan perpecahan dan
kekacauan pada agama dan negara hingga mengantarkannya kepenjara untuk kesekian
kalinnya pada Dzulhijjah 309. Puncak dari kegoncangan ini pada tanggal 28
Dzulhijjah ketika terompet Nasir Hamid dibunyikan sebagai tanda eksekusi Hallaj
akan dilaksanakan. Eksekusi ini dimulai dengan diseretnya al-Hallaj yang
kemudian dipotong tangan dan kakinya dihadapan publik sehari sebelum
kematiannya. Pagi setelah peristiwa tersebut tepat pada tanggal 29 Dzulhijjah
309 H, Nasir Hamid membacakan ketetapan hukuman mati terhadap al-Hallaj[17].
Pada saat Hallaj diseret turun dari tiang salib untuk dipenggal lehernya, ia
sempat mengatakan sebuah pesan. Dengan suara lantang ia menyerukan kalimat ; “
Yang tertinggi bagi sufi adalah kediriannya yang membawa kepada Dia yang
tunggal. Mereka yang tiada mempercayai hari akhir akan ketakutan karena
kedatangannya. Tapi mereka yang percaya akan hal ini menunggu dengan penuh
cinta, karena mengetahui bahwa Tuhan akan hadir”.[18] Setelah ia melontarkan
kata-kata terakhirnya tersebut, kemudian eksekusi pemenggalan kepalanya
dilakukan. Setelah dipenggal kepalanya kemudian jasadnya dibungkus dengan kulit
permadani dan disiram dengan minyak lalu di bakar, sedangkan abu dari
pembakaran tersebut diterbangkan di Ra’sal-Manara. C. Analisa konsep ittihad
al-Hallaj dan Teologi Sufi Syekh Siti jenar Ana’I-haqq sebagai puncak kulminasi
yang dialami al-Hallaj merupakan sebuah pengakuan yang tidak mudah diterima
oleh akal umat muslim. al-Haqq sendiri mempunyai beragam makna, diantarannya,
dapat dimaknakan sebagai Hak dalam arti tugas yang harus dilakukan. Kata ini,
juga dapat bermakna sebuah kebenaran (realita). Akan tetapi dalam tradisi
persia ( juga Turki dan Malaysia ), kata al-Haqq telah diasumsikan menjadi nama
tuhan (Allah) bagi keseluruhan umat disana[19]. Dalam kamus bahasa Indonesia
Hak juga diartikan sebagai kuasa atau mempunyai kuasa milik, dan disebutkan
bahwa yang paling kuasa memiliki segala sesuatu adalah Allah. Jadi pengakuan
Ana’I Haqq menjadi sebuah pengakuan yang “aneh”, ketika kata tersebut
dilekatkan pada diri sebuah makhluk/manusia (al-Hallaj), terutama
ditengah-tengah umat Islam[20]. Jadi tidak mengherankan jika al-Hallaj menjadi
sebuah obyek pertentangan kaum muslimin lainnya dan juga pemerintah, karena
pelekatan diri pribadinnya terhadap keberadaan Tuhan (al Haqq) ini digunakan
dihadapan publik. Perbedaan mendasar juga dinyatakan Hallaj dalam mengartikan
al-Haqq dengan Haqiqa. Jika Haqq ia asumsikan sebagai nama Tuhan dalam artian
hukum praktis, sedangkan Haqiqa sebagai sebuah kualitas abstrak tidak bisa
diakses[21]. Dalam diri Hallaj, Haqq (kebenaran) dikaitkan dengan
Universitalitas seruannya (kesatuan mistik) yaitu, bukan hanya berdasar
kesetiaan dalam menerima apa yang ditentukan sebelumnya dari pengetahuan
Illahiyah, tapi atas dasar perintah langsung dalam diri kita untuk berbuat
baik. Pada akhirnya akan kembali pada umat dalam mengambil sudut pandang
terhadap ajaran, dalam hal ini kata al-Haqq versi al-Hallaj. Tetapi yang menjadi
catatan penting, perlu dicantumkan disini bahwa al-Hallaj secara pribadi dari
beberapa anekdot yang ditulis oleh para murid dan para Hallajian adalah dia
memiliki berbagai “keajaiban” serta ketulusan ilahiyah yang sangat tinggi. Akan
tetapi dari ketulusan dan kenyakinan yang diajarkan tersebut lepas dari mana
kita memandang telah menimbulkan berbagai kekacauan dan perpecahan yang hebat
diantara umat muslim saat itu. Karya-karya al-Hallaj antara lain : Kitab al
Shaihur fi Naqshid duhur, Kitab al-abad wa al-Mabud, Kitab Kaifa Kana wa Kaifa
Yakun, Kitab huwa-huwa, Kitab Sirru al Alam wa al-Tauhid, Kitab al-Thawwasin
al-azal.[22] Bagaimana dengan teologi sufi Syekh Siti Jenar, ajaran SSJ yang
terkenal dengan sebutan “ manunggaling kawulo gusti”, yang bersumbu pada
sasahidan memiliki inti kalimat dua hal ; “ la ilaha illa Ana”, dan “ Ana
al-Haqq”. Sekilas memang tampak sama dengan ittihad al-Hallaj, SSJ membaca dan
mempelajari dengan baik tradisi sufi dari al-thawasinnya al-Hallaj, dan
sebenarnya SSJ lah yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj ke tanah jawa.
Sementara itu para wali yang lain (wali songo) mengajarkan Islam syar’I madzabi
yang ketat, sebagian memang mengajarkan tasawuf namun tasawuf tarekati yang
beralur pada paham imam Ghazali. Dalam pemahaman dan pengalaman SSJ, dhamir
(kata ganti) Ana, Anta, dan Huwa[23] itu juga dipancarkan kepada mahkluk
termulia, yang dibekali roh al-Idhafi, yang didalamnya bersemayam Roh al-Haqq,
dan di kedalamannnya Roh al-Haqq itulah tersembunyi khazanah pembedaharaan
al-Haqq itu sendiri. Maka keluarlah dari lisan rohaninya ungkapan suci “ Ana
al-Haqq”, atau juga “ laa ilaha illa Ana”[24]. Bahkan menurut SSJ tingkatan
rohani tertinggi adalah ungkapan “Ana-al-Haqq”, dan bahkan lebih ringkas lagi “
Ana, Ana, Ana “. Itulah rahasia terdalam pengalaman SSJ yang di tuangkan dalam
ajaran-ajarannya., dan pemahaman seperti itulah pula yang umumnya mendatangkan
bencana kepada penyeru ajarannya, lalu yang mengantarkan SSJ ke Vonis Mati oleh
pemerintah saat itu (Demak). Dalam catatan sastra suluk jawa, hanya ada 3 kitab
karya Syekh Siti Jenar yaitu ; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyf), dan Balal
Mubarak.[25] D. KESIMPULAN 1. Al-Hallaj adalah seorang sufi yang mempunyai nama
lengkap Abu Mughist al-Hasayn bin Mansur al-Hallaj, ia dilahirkan di Persia
pada tahun 244 H. cerita dan keberadaan al-Hallaj jelas dan dapat dilacak dalam
catatan sejarah dengan jelas tanpa ada kontroversi. Bahkan ajaran-ajarannya
hingga kini masih ada dan masih diikuti sebagian orang (Hallajian). Syekh Siti Jenar
(SSJ) dalam berbagai versi mempunyai nama yang berbeda, ia punya nama antara
lain ; San Ali (nama kecil pemberian orang tua), Syekh Abdul Jalil ( nama di
Malaka), Syekh Jabaranta (nama di Palembang), Syekh Lemah Abang ( gelar yang di
berikan masyarakat lemah abang), dan Syekh Siti Jenar ( nama filosofis yang
menggabarkan ajaran sangkan paran ). Ia dilahirkan sekitar tahun 829 H/1348
C/1426 M, di lingkungan Pakuwuan Caruban, sekarang terkenal sebagai Astana
Japura, sebelah tenggara Cirebon. Keberadaan SSJ masih menjadi perdebatan da
kalangan ahli sejarah, ada yang menyebutkan bahwa tokoh ini fiksi atau buatan
saja dan di imajenerkan dengan tokoh al-Hallaj di Baghdad (seperti yang di
ungkapkan Ahmad Mursidi, dll ) dan ada yang menyatakan tokoh ini nyata dan ada
dalam sejarah (seperti tokoh-tokoh yang disebutkan penulis diatas). 2. Pokok
ajaran al-Hallaj adalah mengajak seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan menuju zat yang Maha Suci. Juga ia menganjurkan untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyah meskipun harus berkorban jiwa raga demi
kepentingan umat. Hallaj memandang bahwa tuhan memiliki sifat luhut
(ketuhanaan) dan Nasut (kemanusian) sebagai manusia. Sedangkan manusia dapat
mencapai luhut dan menghilangkan sifai nasutnya jika ia telah memperoleh
kefanaan dalam berbagai hal. Seperti kecenderungannya dan keinginan, fikiran,
khayalan, perasaan, perbuatan serta kekuatan pikiran dan kesadaran. Pokok
ajaran SSJ tidak jauh berbeda dengan ajaran al-Hallaj karena SSJ sangat mengusai
tradisi sufinya al-Hallaj. Dan SSJ yang pertama mengusung gagasan al-Hallaj ke
jawa. Secara garis besar SSJ mengajarkan ilmu Ma’rifat secara bertahab, terdiri
dari lima pokok jika ingin menjadi manusia sempurna (al-Insan al-kamil) serta
bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. 1) Tahap pertama SSJ
mengajarkan asal-usul manusia {ngilmu sangkan paran}, 2) Tahap kedua SSJ
mengajarkan yang berkaitan dengan kehidupan, khusus apa yang disebut sebagai
pintu kehidupan, 3) Tahap ketiga SSJ mengajarkan tempat manusia berada ketika
sudah hidup kekal dan abadi 4) Tahap keempat SSJ menunjukkan alam kematian
yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini,
serta berbagai kiat cara menghadapinya, 5) Tahap kelima SSJ mengajarkan tentang
adanya Tuhan yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa sebagai pelabuhan
akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Source : http://alifbraja.blogspot.com/2012/07/antara-syekh-siti-jenar-dan-al-hallaj.html
Posting Komentar