Para ahli astronomi
telah lama berusaha
merumuskan berbagai teori
yang dapat menjelaskan tentang
kejadian alam semesta.
Salah satu teorinya
disebut teori dentuman dahsyat (big
bang). Teori ini
pertama kali dikemukakan
oleh kosmolog Abbe
Lemaitre pada tahun 1920-an.
Menurutnya alam semesta ini bermula dari gumpalan super-atom raksasa yang isinya
tidak bisa kita bayangkan tetapi kira-kira seperti bola api raksasa yang
suhunya antara 10 milyar sampai 1 trilyun derajat celcius (air mendidih suhunya
hanya 100oC). Gumpalan super-atom tersebut meledak sekitar 15 milyar
tahun yang lalu. Hasil sisa dentuman dahsyat tersebut menyebar menjadi
debu dan awan hidrogen.
Setelah berumur ratusan
juta tahun, debu
dan awan hidrogen tersebut membentuk bintang-bintang dalam ukuran yang
berbeda-beda. Seiring dengan terbentunya bintang-bintang, di antara
bintang-bintang tersebut berpusat membentuk kelompoknya masing-masing yang
kemudian kita sebut galaksi.
Teori big bang merupakan teori mutakhir tentang penciptaan alam semesta.
Sebelumnya telah berlaku berbagai
teori kejadian alam
semesta dengan sejumlah
pendukung dan penentangnya. Seperti
Teori Keadaan Tetap
(Steady State Theory)
yang diusulkan pada
tahun 1948 oleh H. Bondi, T. Gold, dan
F. Hoyle dari Universitas Cambridge (Tjasyono, 2006; 51). Menurut teori
ini, alam semesta
tidak ada awalnya
dan tidak akan
berakhir. Dalam teori keadaan tetap tidak ada asumsi bola api
kosmik yang besar dan pernah meledak. Alam semesta akan datang
silih berganti berbentuk
atom-atom hidrogen dalam
ruang angkasa, membentuk galaksi baru dan menggantikan
galaksi lama yang bergerak menjauhi kita dalam ekspansinya.
Teori lainnya yang
cukup akomodatif dari
kedua teori di
atas adalah teori
osilasi. Keyakinan tentang kejadian alam semesta sama dengan Teori
Keadaan Tetap yaitu bahwa alam semesta
tidak awal dan tidak akan
berakhir. Tetapi model osilasi
mengakui adanya dentuman besar dan
nanti pada suatu
saat gravitasi menyedot
kembali efek ekspansi
ini sehingga alam semesta
akan mengempis (collapse)
yang pada akhirnya
akan menggumpal kembali
dalam kepadatan yang tinggi
dengan temperatur yang
tinggi dan akan
terjadi dentuman besar kembali. Setelah big-bang kedua kali
terjadi, dimulai kembali ekspansi kedua dan suatu saat akan mengempis kembali
dan meledak untuk ketiga kalinya dan seterusnya.
Di tempat lain
para ilmuwan sibuk
mengusulkan teori lain
tentang terciptanya tata surya. Bagi para ilmuwan, formasi tata
surya sangat menarik karena keteraturan planet-planet mengelilingi matahari.
Bersamaan dengan itu, satelit planet juga mengitari planet induknya. Adalah Izaac Newton (1642-1727) yang memberi dasar teori mengenai asal mula Tata Surya. Ia
menyusun Hukum Gerak
Newton atau Hukum Gravitasi
yang membuktikan bahwa gaya antara dua benda sebanding dengan
massa masing-masing objek dan berbanding terbalik dengan kuadrat
jarak antara kedua
benda. Teori Newton
menjadi dasar bagi
berbagai teori pembentukan Tata
Surya yang lahir
kemudian, sampai dengan
tahun 1960 termasuk didalamnya teori monistik dan teori
dualistik. Teori monistik menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari
materi yang sama. Sedangkan teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal
dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.
Tahun 1745, George Comte de Buffon (1701-1788) dari Perancis
mempostulatkan teori dualistik dan katastrofi
yang menyatakan bahwa
tabrakan komet dengan
permukaan matahari menyebabkan materi
matahari terlontar dan
membentuk planet pada
jarak yang berbeda. Kelemahan dari
teori Buffon tidak
bisa menjelaskan asal
datangnya komet. Ia
hanya mengasumsikan bahwa komet jauh lebih masif dari kenyataannya.
Filsuf Perancis, Rene
Descartes (1596-1650) mempercayai
bahwa ruang angkasa
terisi oleh fluida alam
semesta dan planet-planet
terbentuk dalam pusaran
air. Teori ini
tidak didukung oleh dasar
ilmiah yang kuat
sehingga banyak yang
menolaknya. Namun demikian, nampaknya menjadi inspirasi bagi
Immanuel Kant (1724-1804) bahwa ada kemungkinan bahwa alam semesta itu berasal
dari sesuatu “lembut” dan lebih lebit dari fluida yaitu adanya awan gas yang
berkontraksi dibawah pengaruh gravitasi sehingga awan tersebut menjadi pipih.
Gagasan Kant didasarkan dari Teori Pusaran Descartes yang merubah asumsi dari
fluida menjadi gas.
Setelah adanya teleskop, William Herschel (1738-1822) mengamati adanya
nebula yang awalnya dianggap sebagai
kumpulan gas yang gagal menjadi bintang.
Tahun 1791, ia melihat bintang tunggal
yang dikelilingi oleh
hallo yang terang.
Asumsi inilah yang
kemudian berkembang dan menaik
kesimpulan sementara bahwa
bintang itu terbentuk
dari nebula dan hallo merupakan sisa dari nebula.
Teori nabula semakin mantap setelah Pierre Laplace (1749-1827) menyatakan
awan gas dan debu yang
berputar secara perlahan
akan menjadi padu
akibat gravitasi. Pada
saat padu, momentum sudut
dipertahankan melalui putaran
yang dipercepat sehingga
terjadilah pemipihan. Selama dalam kontraksi, materi di pusat pusaran
menjadi matahri dan materi yang terlepas
dan memisahkan diri dari piring
pusaran membentuk sejumlah
cincin. Material di sekitar cincin juga membentuk pusaran yang
lebih kecil dan terciptalah planet-planet.
Teori Laplace ditentang oleh Clerk
Maxwell (1831-1879). Menurut Maxwell teori cincin
hanya bisa stabil jika terdiri
dari partikel-partikel padat. Jika
bahannya dari gas seperti pendapat
Laplace maka tidak
akan terbentuk planet.
Menurut Maxwell cincin
tidak bisa berkondensasi menjadi
planet karena gaya inersianya akan memisahkan bagian dalam dan luar cincin. Seandainya
proses pemisahan bisa
terlewati, massa cincin
masih jauh lebih
masif dibanding massa planet yang terbentuk.
Thomas C. Chamberlin (1843 – 1928) ahli geologi dan Forest R. Moulton
(1872 – 1952) seorang ahli astronomi
mengajukan teori lain
yaitu Teori Planetesimal.
Menurut teori ini, matahari
telah ada sebagai
salah satu dari
bintang-bintang yang banyak.
Pada suatu masa, entah kapan, ada sebuah bintang
berpapasan pada jarak yang tidak jauh.
Akibatnya, terjadilah peristiwa
pasang naik pada
permukaan matahari. Sebagian
dari masa matahari
itu tertarik ke arah bintang lewat. Material yang tertarik
ada yang kembali ke matahari dan sebagian lainnya terlepas dan menjadi
planet-planet.
Teori lain yang mirip dengan teori Chamberlin dan Moulton adalah teori
pasang surut yang dikemukakan oleh
Sir James Jeans
(1877 – 1946)
dan Harold Jeffreys
(1891) yang keduanya berkebangsaan
Inggris. Peristiwa pasang
surutnya digambarkan oleh
Jeans dan Jeffreys adalah seperti
cerutu. Artinya ketika bintang lewat mendekati matahari, pada waktu itu masa matahari
tertarik dengan bentuk
menjulur keluar seperti
cerutu. Setelah jauh,
cerutu tersebut menetes dan tetesannya membentuk planet-planet.
Teori lainnya adalah
dari Carl von
Weizsaeker seorang ahli
astronomi Jerman. Teorinya
dikenal dengan nama Teori Awan Debu (The Dust-Cloud Theory). Gagasannya adalah bahwa tata
surya awalnya terbentuk
dari gumpalan awan
gas dan debu.
Awan gas dan
debu mengalami proses pemampatan membentuk bola dan mulai berpilin.
Lama-kelamaan gumpalan gas itu memipih
menyerupai bentuk cakram
yaitu bulat dan
pipih yang dibagian
tengahnya tebal sedangkan di bagian tepiannya sangat tipis. Bagian
tengah memilin lebih lambat daripada bagian
tepiannya. Partikel dibagian
tengah saling menekan
sehingga menimbulkan panas
dan menyala yang kemudian
menjadi matahari. Sedangkan
bagian luar berpusing
sangat cepat sehingga banyak yang
terlempar dan menjadi gumpalan gas dan kumpulan debu padat. Bagian yang
kecil-kecil itu kemudian menjadi planet-planet.
Sebagian ahli juga
percaya bahwa ketika
matahari mulai memijar,
angin matahari berhembus sangat
kencang sehingga menerpa
gumpalan-gumpalan debu calon
planet. Merkurius, Venus, Bumi,
dan Mars terkena
dampak langsung sehingga
debu calon planet sebagian terhempas dan “telanjanglah”
planet-planet tersebut. Sementara
Jupiter, Saturnus, Uranus, dan
Neptunus masih tetap seperti planet “debu” sehingga bentuknya masih berukuran raksasa. Dengan
landasan pada asumsi
dan teori ini,
maka sangat aneh
adanya planet pluto yang
berwujud terestrial (padat).
Pertanyaan inilah yang
belum dapat dijawab
dan untuk sementara “ditunda”
statusnya sebagai planet. Adapun bulan atau satelit padat di sekitar
planet-planet debu berukuran besar itu karena lebih dulu memadat yang kemudian
bergerak mengitari planet induknya.
Posting Komentar