Rasa-rasanya,
enggan menyambangi karya-karya lawas dalam sejarah panjang sinema dunia akan
merugikan, dan lebih jauh, menerbitkan penyesalan. Terbukti, sejumput sesal
menghinggapi saya pribadi belum lama ini. Baru beberapa waktu lalu saya
berkesempatan melihat karya klasik sutradara kenamaan Jerman, Fritz Lang, yakni
“M” bikinan tahun 1931.
Nama besar
Fritz Lang saya kenal saat menyaksikan adaptasi film “Metropolis” berupa
animasi panjang, gubahan Osamu Tezuka, dan disutradari Rintaro produksi 2001
lampau. Saya merasakan kekuatan cara tutur yang unik di kisah tentang
perseteruan golongan elit sebuah kota masa depan dengan kalangan masyarakat
akar rumputnya tersebut, sehingga tergelitik untuk mencari versi aslinya. Tak
dinyana, film bisu yang selama ini jarang sekali saya lirik, versi orisinalnya
itu sangat bertenaga. Jauh melampaui apa yang tercapai dalam versi animasi.
Padahal, visualisasi “Metropolis” versi Fritz Lang tidak didukung warna serta
suara.
Maka giranglah
saya ketika beruntung mendapatkan “M” versi criterion yang sudah diperbaiki
kulitas gambarnya. Seusai tamat menyambangi “M”, saya disadarkan pada apa saja
hal-hal yang perlu diruwat saat kita mencipta sebuah seni bernama film.
Efektivitas cara
tutur Fritz Lang dalam film tersebut sangat menakjubkan, bahkan untuk penonton
masa kini. Ia tak gagap berhadapan dengan teknologi baru bernama pita seluloid
perekam gambar dan suara, meski saat menggarap “M”, Fritz Lang baru kali
pertama memanfaatkan fitur anyar dunia perfilman itu.
Patut kita
ingat, pada periode awal tahun 30-an, masih sedikit film mengintegrasikan suara
ke struktur narasinya. Bahkan sineas sebesar Charlie Chaplin pernah menolak
pemanfaatan suara untuk pengadeganan film. Baginya, film merupakan karya seni
dengan penekanan pada bahasa gambar, bukan suara. Pernyataan yang tak berapa
lama, ia telan sendiri, ketika ia menyutradari film bicara “The Great
Dictactor”.
Kembali ke “M”,
Fritz Lang mengedepankan suara sebagai anasir pembangun nuansa teror. Dalam
permulaan cerita, kita disuguhi nyanyian anak-anak di halaman apartemen murah
pinggiran Kota Berlin. Isi nyanyiannya mengenai hikayat memedi yang gemar
menculik anak-anak. Nyanyian itu tak disokong suara lain, dampaknya, penonton
dihantui oleh melodi riang yang terlalu kontras disandingkan dengan makna
liriknya.
Tak berapa
lama, adegan beralih ke seorang anak perempuan yang pulang sekolah. Di jalanan,
ia hendak menyebrang, dan deru mobil ataupun klakson mampu mengejutkan kita,
penonton, sebagaimana dialami si karakter itu sendiri. Contoh kecil itu,
menggambarkan kepekaan Lang dalam hal membangun tensi-tensi minor, hanya dengan
suara. Belum lagi bila kita memperhitungkan siulan berulang seorang lelaki,
yang nantinya kita tahu, akan menculik si anak perempuan dan membunuhnya.
Lantas, apakah
“M”? Huruf itu berarti Mörder. Sebutan untuk pembunuh dalam kosakata Jerman.
Segamblang judulnya, “M” tidak coba bergenit-genit dengan misteri. Tidak sampai
sepertiga narasi, kita sudah mengetahui siapa si pelaku kejahatan, yaitu Hans
Beckert diperankan aktor legendaris, Peter Lorre (cerita film ini memang
didasarkan pada kasus yang benar-benar terjadi, yaitu pembantaian berantai
anak-anak di Düsseldorf oleh Peter Kürten). Penonton tahu identitas si pembunuh,
saat menyaksikan Becker menulis surat ke redaksi surat kabar, berisi permohonan
agar ia ditangkap. Tapi, memang film ini tidak coba mendramatisasi teror dari
sebuah tindak kejahatan seorang penculik sekaligus pembunuh berantai khusus
anak-anak.
Thea von
Harbou, si penulis skenario, dengan ide-ide pengadeganan Fritz Lang menekankan
suspens melalui dampak lanjutan dari aksi si pembunuh kepada sebuah kota –
termasuk di dalamnya, struktur kuasa maupun masyarakatnya. Mencakup pula mereka
yang menegakkan tata maupun agen perusak tatanan.
Pihak-pihak
yang terkena imbas dari aksi Becker yang pertama tentunya aparat, yaitu
pemerintah dan kepolisian. Masyarakat tak puas melihat kinerja aparat, apalagi
muncul korban-korban baru. Segala daya kemudian diupayakan. Walikota menekan
kepala polisi, lantas si petinggi kepolisian mengerahkan hampir seluruh sumber
dayanya melacak siapa sebetulnya penyebab segala tragedi di kota itu
belakangan.
Tak dinyana,
langkah ekstra kepolisian membikin gerah pihak lainnya. Para kriminal Kota
Berlin. Bagaimana tidak? Dengan keberadaan polisi yang sedemikian intens di
jalanan, mulai dari pencopet, pelacur, sampai mafia, tak ada yang bebas
bergerak. Saking frustrasinya polisi, mereka tak segan menggrebek lokasi-lokasi
“dunia hitam”, dan asal memenjarakan siapa saja yang sedang tak bawa KTP. Dalam
sebuah celetukan usil saat grebekan, seorang germo yang digelandang mengeluh
“sekarang lebih banyak polisi membanjiri jalanan dibanding pelacur-pelacur”.
Dari sini kita
bisa membaca argumen Fritz Lang. Ia sedang mempermainkan konsep, apa itu “tata”
(order) dan siapa yang menciptakannya? Terutama ketika penonton ditampar dengan
kenyataan bahwa hanya tindakan Beckert yang dianggap oleh semua pihak di narasi
tersebut merepresentasikan “disorder”.
Seluruh kota
pun bergelora dalam semangat perburuan. Masing-masing pihak yang merasa perlu
merestorasi tata, menjalankan strategi. Polisi melacak semua toko permen dan
penjual balon, sebab disinyalir, si penculik selalu mengajak korban-korbannya
ke tempat-tempat itu, sebelum kemudian menghabisi mereka. Para penjahat tak
kalah cerdik. Bos-bos mafia menyebar jaringan gelandangan untuk mencari info,
dan sedapat mungkin, menciduk si pembunuh lebih cepat dari polisi.
Dari kelindan
masalah tersebut, bahasa tutur Fritz Lang mencapai klimaks. Ia mampu
menggabungkan suara dan penataan gambar lewat cara-cara efektif. Untuk
membangun teror si Beckert, ia tak perlu menggambarkan adegan pembunuhan. Di
awal film, hanya digambarkan, bola yang dibawa si anak perempuan, menggelinding
di taman sendirian. Sementara balon yang baru ia beli, telah tersangkut dan
tercabik di tiang listrik. Bersamaan dengan itu, si ibu yang khawatir pada
keberadaan anaknya berteriak memanggil-manggil, tapi Lang, dengan latar suara
teriakan si ibu, menampilkan tangga kosong, taman yang sepi, dan halaman
apartemen tanpa anak-anak bermain. Pendekatan Lang sungguh khas, menandai
maraknya aliran seni ekspresionisme di publik Jerman masa-masa itu.
Di sisi lain,
untuk menggambarkan ironi betapa serupanya tindakan polisi dan kriminal, ia
banyak menampilkan gambar-gambar yang berpindah-pindah, menyorot sekumpulan
orang berdiskusi dalam suasana redup, samar-samar, saling menuduh, menyebar
syak wasangka, ataupun membahas cara menangkap si pelaku pembunuhan. Penonton
kemudian sulit mengidentifikasi, yang mana diskusi antar pejabat kepolisian,
dan mana yang antar bos mafia. Semua sama belaka rupanya, atau demikianlah
persepsi kita dibangun oleh Fritz Lang.
Meledaklah
segala konflik di puncak adegan, saat Beckert tertangkap oleh gerombolan
pengemis suruhan kelompok penjahat. Fritz Lang mengombinasikan angle lebar
untuk menangkap suasana keroyokan dan amarah massa. Tak kurang, dalam aspek
minor, ia menyorot wajah-wajah massa beringas tersebut: semuanya keras, dingin,
disorot dari jarak dekat, dan tidak menyuratkan simpati. Konon, untuk
mendapatkan visualisasi beringas tadi, banyak pemeran penjahat memang kriminil
asli dan sengaja direkrut oleh Fritz Lang. Wujud obsesi pada realisme, jauh
sebelum sineas-sineas di permulaan abad 21 gandrung pada pemujudan dunia
serealistis mungkin di layar.
Beckert yang
tertangkap basah diadili sepihak oleh kelompok penjahat di sebuah gudang bawah
tanah. Peter Lorre sempurna membawakan karakter psikopat seunik Becker. Ia
berwajah tanpa dosa, bahkan seiring dakwaan-dakwaan dijatuhkan, ia meratap dan
meminta para pendakwanya memahami posisi yang ia alami. Bahwasanya, ia sendiri
tak mampu menghentikan suara-suara dalam dirinya untuk membunuh.
Dalam momen
final tersebut, “M” berubah menjadi semacam traktat filsafat moral. Betapa
absurd seorang psikopat diadili oleh pembunuh, bandit, pencoleng, dan segala
bajingan dari beragam profesi. Bahkan, para penjahat itu mewakili suara-suara
yang menawarkan moralitas. “Coba kau tanya orang tua yang anaknya kau bunuh,
lihat, apakah mereka akan memaafkanmu!” ujar salah seorang pencoleng yang
bertugas jadi majelis hakim.
“M”
menjungkirbalikkan segenap stereotipe. Sekaligus melanjutkan tafsir atas tema
yang telah Fritz Lang semai di film “Metropolis”. Mengenai konfrontasi urban,
atau dalam istilah Marxis, pertentangan kelas. Lewat “Metropolis” Lang
mengajukan argumen bahwa kedua golongan itu mustahil didamaikan, bahkan,
melalui perbudakan sistematis sekalipun. Sebaliknya, dengan “M”, ia menyasar
absurditas konflik antar golongan tadi.
Maka film ini
bukanlah cerita mengenai teror dalam bentuk klise. Teror yang dimaksud adalah
kesadaran delusif ketika amarah berwujud gerombolan massa dan tidak ada lagi
perbedaan antara siapa mewakili siapa. Semua melebur dalam hasrat paranoid dan
irasional (contohnya polisi menangkap semua orang, bersalah maupun tidak,
sementara penjahat berupaya menegakkan keadilan). Apakah ia mengkhianati
kritiknya terdahulu soal bejatnya kapitalisme di “Metropolis”?
Bisa dibaca
demikian. Tapi kita perlu lihat konteks sosial saat ia memproduksi “M” tahun
1931. Tampak sekali, Fritz Lang merasakan kemuakan pada cara-cara Nazi, yang
sedang menapak kekuasaan tertinggi di Jerman, membangun sentimen massa.
Bagaimana semua diarahkan jadi seragam, lalu mengadopsi pola pikir singular.
Tergambar dalam film ini, tidak ada tokoh. Satu-satunya tokoh dengan
karakterisasi yang jelas, murni hanya Becker, dengan segala patologi mentalnya,
dan bahkan waktu tampil yang tak terlalu banyak di layar.
Inilah film
dengan teror kasat mata, menyelinap dibalik kesadaran visual penonton. Ide
Fritz Lang nantinya akan digenapi oleh Alfred Hitchcock dengan konsep teror
psikologis di level yang lebih kecil, yaitu kesadaran perorangan, lewat
“Psycho”. Cara Lang membangun histeria pun dapat kita cium jejaknya dalam
thriller modern seperti “Se7en” ataupun “Zodiac”. Dari segi penokohan, jangan
lupakan andil Lang dalam membuka kemungkinan penggambaran psikopat yang
mengundang simpati penonton. Lihat cara tokoh Gollum dihadirkan Peter Jackson
di trilogi “Lord of The Ring” misalnya.
Berkat “M”,
kita dibawa Fritz Lang ke salah satu puncak pencapaian sinema yang ia buat saat
usia kesenian itu masih sangat muda. Tak salah bila saya menyesal telat
berkenalan dengannya bukan?
“M” [1931]
Sutradara:
Fritz Lang
Skenario: Thea
von Harbou
Pemain: Peter
Lorre, Otto Wernicke, Gustaf Gründgens, Theodor Loos, Friedrich Gnaß
http://erratiquesight.wordpress.com/
Posting Komentar