JURNAL HARI INI :
Home » » “M”: Teror sekaligus Keajaiban Sinema

“M”: Teror sekaligus Keajaiban Sinema

Written By NGUSUL on Selasa, 07 Januari 2014 | 00.16

Rasa-rasanya, enggan menyambangi karya-karya lawas dalam sejarah panjang sinema dunia akan merugikan, dan lebih jauh, menerbitkan penyesalan. Terbukti, sejumput sesal menghinggapi saya pribadi belum lama ini. Baru beberapa waktu lalu saya berkesempatan melihat karya klasik sutradara kenamaan Jerman, Fritz Lang, yakni “M” bikinan tahun 1931.

Nama besar Fritz Lang saya kenal saat menyaksikan adaptasi film “Metropolis” berupa animasi panjang, gubahan Osamu Tezuka, dan disutradari Rintaro produksi 2001 lampau. Saya merasakan kekuatan cara tutur yang unik di kisah tentang perseteruan golongan elit sebuah kota masa depan dengan kalangan masyarakat akar rumputnya tersebut, sehingga tergelitik untuk mencari versi aslinya. Tak dinyana, film bisu yang selama ini jarang sekali saya lirik, versi orisinalnya itu sangat bertenaga. Jauh melampaui apa yang tercapai dalam versi animasi. Padahal, visualisasi “Metropolis” versi Fritz Lang tidak didukung warna serta suara.
 
Fritz Lang (www.chicagoreader.com)
Maka giranglah saya ketika beruntung mendapatkan “M” versi criterion yang sudah diperbaiki kulitas gambarnya. Seusai tamat menyambangi “M”, saya disadarkan pada apa saja hal-hal yang perlu diruwat saat kita mencipta sebuah seni bernama film.

Efektivitas cara tutur Fritz Lang dalam film tersebut sangat menakjubkan, bahkan untuk penonton masa kini. Ia tak gagap berhadapan dengan teknologi baru bernama pita seluloid perekam gambar dan suara, meski saat menggarap “M”, Fritz Lang baru kali pertama memanfaatkan fitur anyar dunia perfilman itu.

Patut kita ingat, pada periode awal tahun 30-an, masih sedikit film mengintegrasikan suara ke struktur narasinya. Bahkan sineas sebesar Charlie Chaplin pernah menolak pemanfaatan suara untuk pengadeganan film. Baginya, film merupakan karya seni dengan penekanan pada bahasa gambar, bukan suara. Pernyataan yang tak berapa lama, ia telan sendiri, ketika ia menyutradari film bicara “The Great Dictactor”.

Kembali ke “M”, Fritz Lang mengedepankan suara sebagai anasir pembangun nuansa teror. Dalam permulaan cerita, kita disuguhi nyanyian anak-anak di halaman apartemen murah pinggiran Kota Berlin. Isi nyanyiannya mengenai hikayat memedi yang gemar menculik anak-anak. Nyanyian itu tak disokong suara lain, dampaknya, penonton dihantui oleh melodi riang yang terlalu kontras disandingkan dengan makna liriknya.

Tak berapa lama, adegan beralih ke seorang anak perempuan yang pulang sekolah. Di jalanan, ia hendak menyebrang, dan deru mobil ataupun klakson mampu mengejutkan kita, penonton, sebagaimana dialami si karakter itu sendiri. Contoh kecil itu, menggambarkan kepekaan Lang dalam hal membangun tensi-tensi minor, hanya dengan suara. Belum lagi bila kita memperhitungkan siulan berulang seorang lelaki, yang nantinya kita tahu, akan menculik si anak perempuan dan membunuhnya.

Lantas, apakah “M”? Huruf itu berarti Mörder. Sebutan untuk pembunuh dalam kosakata Jerman. Segamblang judulnya, “M” tidak coba bergenit-genit dengan misteri. Tidak sampai sepertiga narasi, kita sudah mengetahui siapa si pelaku kejahatan, yaitu Hans Beckert diperankan aktor legendaris, Peter Lorre (cerita film ini memang didasarkan pada kasus yang benar-benar terjadi, yaitu pembantaian berantai anak-anak di Düsseldorf oleh Peter Kürten). Penonton tahu identitas si pembunuh, saat menyaksikan Becker menulis surat ke redaksi surat kabar, berisi permohonan agar ia ditangkap. Tapi, memang film ini tidak coba mendramatisasi teror dari sebuah tindak kejahatan seorang penculik sekaligus pembunuh berantai khusus anak-anak.

Thea von Harbou, si penulis skenario, dengan ide-ide pengadeganan Fritz Lang menekankan suspens melalui dampak lanjutan dari aksi si pembunuh kepada sebuah kota – termasuk di dalamnya, struktur kuasa maupun masyarakatnya. Mencakup pula mereka yang menegakkan tata maupun agen perusak tatanan.

Pihak-pihak yang terkena imbas dari aksi Becker yang pertama tentunya aparat, yaitu pemerintah dan kepolisian. Masyarakat tak puas melihat kinerja aparat, apalagi muncul korban-korban baru. Segala daya kemudian diupayakan. Walikota menekan kepala polisi, lantas si petinggi kepolisian mengerahkan hampir seluruh sumber dayanya melacak siapa sebetulnya penyebab segala tragedi di kota itu belakangan.

Tak dinyana, langkah ekstra kepolisian membikin gerah pihak lainnya. Para kriminal Kota Berlin. Bagaimana tidak? Dengan keberadaan polisi yang sedemikian intens di jalanan, mulai dari pencopet, pelacur, sampai mafia, tak ada yang bebas bergerak. Saking frustrasinya polisi, mereka tak segan menggrebek lokasi-lokasi “dunia hitam”, dan asal memenjarakan siapa saja yang sedang tak bawa KTP. Dalam sebuah celetukan usil saat grebekan, seorang germo yang digelandang mengeluh “sekarang lebih banyak polisi membanjiri jalanan dibanding pelacur-pelacur”.

Dari sini kita bisa membaca argumen Fritz Lang. Ia sedang mempermainkan konsep, apa itu “tata” (order) dan siapa yang menciptakannya? Terutama ketika penonton ditampar dengan kenyataan bahwa hanya tindakan Beckert yang dianggap oleh semua pihak di narasi tersebut merepresentasikan “disorder”.

Seluruh kota pun bergelora dalam semangat perburuan. Masing-masing pihak yang merasa perlu merestorasi tata, menjalankan strategi. Polisi melacak semua toko permen dan penjual balon, sebab disinyalir, si penculik selalu mengajak korban-korbannya ke tempat-tempat itu, sebelum kemudian menghabisi mereka. Para penjahat tak kalah cerdik. Bos-bos mafia menyebar jaringan gelandangan untuk mencari info, dan sedapat mungkin, menciduk si pembunuh lebih cepat dari polisi.

Dari kelindan masalah tersebut, bahasa tutur Fritz Lang mencapai klimaks. Ia mampu menggabungkan suara dan penataan gambar lewat cara-cara efektif. Untuk membangun teror si Beckert, ia tak perlu menggambarkan adegan pembunuhan. Di awal film, hanya digambarkan, bola yang dibawa si anak perempuan, menggelinding di taman sendirian. Sementara balon yang baru ia beli, telah tersangkut dan tercabik di tiang listrik. Bersamaan dengan itu, si ibu yang khawatir pada keberadaan anaknya berteriak memanggil-manggil, tapi Lang, dengan latar suara teriakan si ibu, menampilkan tangga kosong, taman yang sepi, dan halaman apartemen tanpa anak-anak bermain. Pendekatan Lang sungguh khas, menandai maraknya aliran seni ekspresionisme di publik Jerman masa-masa itu.

Di sisi lain, untuk menggambarkan ironi betapa serupanya tindakan polisi dan kriminal, ia banyak menampilkan gambar-gambar yang berpindah-pindah, menyorot sekumpulan orang berdiskusi dalam suasana redup, samar-samar, saling menuduh, menyebar syak wasangka, ataupun membahas cara menangkap si pelaku pembunuhan. Penonton kemudian sulit mengidentifikasi, yang mana diskusi antar pejabat kepolisian, dan mana yang antar bos mafia. Semua sama belaka rupanya, atau demikianlah persepsi kita dibangun oleh Fritz Lang.

Meledaklah segala konflik di puncak adegan, saat Beckert tertangkap oleh gerombolan pengemis suruhan kelompok penjahat. Fritz Lang mengombinasikan angle lebar untuk menangkap suasana keroyokan dan amarah massa. Tak kurang, dalam aspek minor, ia menyorot wajah-wajah massa beringas tersebut: semuanya keras, dingin, disorot dari jarak dekat, dan tidak menyuratkan simpati. Konon, untuk mendapatkan visualisasi beringas tadi, banyak pemeran penjahat memang kriminil asli dan sengaja direkrut oleh Fritz Lang. Wujud obsesi pada realisme, jauh sebelum sineas-sineas di permulaan abad 21 gandrung pada pemujudan dunia serealistis mungkin di layar.

Beckert yang tertangkap basah diadili sepihak oleh kelompok penjahat di sebuah gudang bawah tanah. Peter Lorre sempurna membawakan karakter psikopat seunik Becker. Ia berwajah tanpa dosa, bahkan seiring dakwaan-dakwaan dijatuhkan, ia meratap dan meminta para pendakwanya memahami posisi yang ia alami. Bahwasanya, ia sendiri tak mampu menghentikan suara-suara dalam dirinya untuk membunuh.

Dalam momen final tersebut, “M” berubah menjadi semacam traktat filsafat moral. Betapa absurd seorang psikopat diadili oleh pembunuh, bandit, pencoleng, dan segala bajingan dari beragam profesi. Bahkan, para penjahat itu mewakili suara-suara yang menawarkan moralitas. “Coba kau tanya orang tua yang anaknya kau bunuh, lihat, apakah mereka akan memaafkanmu!” ujar salah seorang pencoleng yang bertugas jadi majelis hakim.

“M” menjungkirbalikkan segenap stereotipe. Sekaligus melanjutkan tafsir atas tema yang telah Fritz Lang semai di film “Metropolis”. Mengenai konfrontasi urban, atau dalam istilah Marxis, pertentangan kelas. Lewat “Metropolis” Lang mengajukan argumen bahwa kedua golongan itu mustahil didamaikan, bahkan, melalui perbudakan sistematis sekalipun. Sebaliknya, dengan “M”, ia menyasar absurditas konflik antar golongan tadi.

Maka film ini bukanlah cerita mengenai teror dalam bentuk klise. Teror yang dimaksud adalah kesadaran delusif ketika amarah berwujud gerombolan massa dan tidak ada lagi perbedaan antara siapa mewakili siapa. Semua melebur dalam hasrat paranoid dan irasional (contohnya polisi menangkap semua orang, bersalah maupun tidak, sementara penjahat berupaya menegakkan keadilan). Apakah ia mengkhianati kritiknya terdahulu soal bejatnya kapitalisme di “Metropolis”?

Bisa dibaca demikian. Tapi kita perlu lihat konteks sosial saat ia memproduksi “M” tahun 1931. Tampak sekali, Fritz Lang merasakan kemuakan pada cara-cara Nazi, yang sedang menapak kekuasaan tertinggi di Jerman, membangun sentimen massa. Bagaimana semua diarahkan jadi seragam, lalu mengadopsi pola pikir singular. Tergambar dalam film ini, tidak ada tokoh. Satu-satunya tokoh dengan karakterisasi yang jelas, murni hanya Becker, dengan segala patologi mentalnya, dan bahkan waktu tampil yang tak terlalu banyak di layar.

Inilah film dengan teror kasat mata, menyelinap dibalik kesadaran visual penonton. Ide Fritz Lang nantinya akan digenapi oleh Alfred Hitchcock dengan konsep teror psikologis di level yang lebih kecil, yaitu kesadaran perorangan, lewat “Psycho”. Cara Lang membangun histeria pun dapat kita cium jejaknya dalam thriller modern seperti “Se7en” ataupun “Zodiac”. Dari segi penokohan, jangan lupakan andil Lang dalam membuka kemungkinan penggambaran psikopat yang mengundang simpati penonton. Lihat cara tokoh Gollum dihadirkan Peter Jackson di trilogi “Lord of The Ring” misalnya.

Berkat “M”, kita dibawa Fritz Lang ke salah satu puncak pencapaian sinema yang ia buat saat usia kesenian itu masih sangat muda. Tak salah bila saya menyesal telat berkenalan dengannya bukan?

“M” [1931]

Sutradara: Fritz Lang

Skenario: Thea von Harbou

Pemain: Peter Lorre, Otto Wernicke, Gustaf Gründgens, Theodor Loos, Friedrich Gnaß



http://erratiquesight.wordpress.com/
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : NGUSUL | E-JURNAL | PSYCHOLOGYMANIA
Copyright © Desember 2013. JURNAL Today - All Rights Reserved
Dipersembahkan untuk pembaca dan khalayak ramai
Proudly powered by Blogger