Alex R Nainggolan *
Analisa,1 Des 2013
SAAT kerumunan berita ikhwal korupsi merebak di negeri ini; saat
korupsi menjelma sebuah tradisi di sebuah lembaga negara; saat korupsi terjebak
di setiap pribadi – yang mulanya kita percaya jika dia seorang yang jujur;
sesungguhnya apa yang terjadi pada mimik bangsa ini? Terkejut dengan penuh
denyar yang panjang atau berpura-pura mengamini atas tindakan itu. Seperti
sebuah tamparan, korupsi seperti sebuah wabah – yang menjalar, terkadang pula
dilakukan secara massal (berjamaah).
Beberapa dari kita seperti dihantui rasa ketidakpercayaan,
katakanlah saat seorang yang pernah dipuja -ternyata tak sesuci ucapan ataupun
tindakannya- yang pernah kita lihat, dengar atau ketahui sebelumnya. Kita
dapati rasa ketakpercayaan terhadap lembaga negara pun makin melebar, membesar
– sehingga kitapun terjangkiti phobia yang sama. Tak ada lembaga/individu yang
benar-benar bersih.
Puisipun menulisnya. Setiap rangkaian kata-kata yang meluncur dari
penyair, mengungkapkan borok korupsi itu. Jika situasi negeri ini tengah genting,
gawat dan kolaps. Puisi seperti menyibaknya, dengan sejumlah asumsi –
setidaknya turut pula membeberkan setiap fragmen, rangkaian dari korupsi itu.
Dapatkah puisi merampas itu semua? Katakanlah menjelma sebuah
”teguran” lewat untaian makna terbalut di dalamnya, mungkin pula sekadar
menyentil sisi-sisi kemanusiaan. Dengan kata lain, teks puisi-puisi ihwal
korupsi semacam sebuah upaya untuk mengingatkan kita dari ”lupa” yang panjang.
Mampukah puisi melawan korupsi? Setidaknya lewat untaian diksi yang mengudap di
dalamnya, puisi semacam sebuah penanda. Penanda yang setia bagi zamannya,
barangkali pula merupa cermin, bagi kehidupan manusia.
Semacam apa yang dikerjakan oleh Sosiawan Leak – koordinator
gerakan puisi menolak korupsi, dengan menerbitkan antologi puisi. Kitapun
berhadapan dengan sejumlah kerumunan kata – seperti ingin menghardik, memaki,
berteriak atau sekadar menyentil perilaku para koruptor. Antologi puisipun
terbit, puisi yang menolak korupsi – terdiri dari dua buku jilid kedua a dan b.
Di kumpulan puisi ini, beragam kata ihwal korupsi singgah. Mungkin
puisi-puisi itu menawarkan sebuah kisah, yang ujungnya meminta kita berbenah.
Kembali memikirkan negara ini yang tengah sekarat dihujani budaya korupsi.
Simak bagaimana Sosiawan menulis di sampul belakang buku: Kini, biografi
korupsi makin berseri. Terlebih saat manunggal dalam jiwa & tubuh
kekuasaan. Dia rajin mengumpulkan serpihan biografi yang selama ini bertebaran.
Serpihan-serpihan itu meramu diri menjadi kesatuan yang utuh, kuat, saling
berkait & berkelindan. Ketika menyelinap ke tubuh kekuasaan tak lagi
sekadar menjadi spirit, bahkan telah malih rupa sebagai sifat; jelmaan
kekuasaan semata…
Memang dalam wilayah kekuasaan (negara), korupsi paling banyak
menjangkiti. Terlebih lagi mental yang bobrok, sehingga membuat para individu
yang bergelimang di dalamnya menjadi silau. Uang pun didewakan, dijarah – tak
peduli bukan haknya sendiri. Rumitnya dinding birokrasi semakin menebalkan
batasan itu. Dan yang hadir ialah anggaran ”bodong”, tandatangan tender tidak
pernah jelas, ataupun segala hal fiktif yang disulap dengan lembaran kuitansi.
Setelah itu, hasilnya memang masuk ke kantong pribadi dengan memperkaya diri
sendiri.
Di wilayah cemas yang ganas itulah, puisi-puisi dalam antologi
menolak korupsi berwujud. Sejumlah penyair menawarkan rasa empati terdalam –
mereka rasakan. Barangkali lewat pelbagai berita yang hadir, bisik-bisik,
ataupun fakta yang mereka temukan di keseharian. Dalam tipisnya dinding
imajinasi dan fakta yang tertuang pada setiap puisi, mereka seperti
menghidupkan sebuah ”jarak” terhadap korupsi itu sendiri. Berupaya agar tidak
masuk ke sisi personal setiap individu.
Puisi adalah rangkaian imajinasi. Setiap pilihan kata, jeda
antarkalimat merupakan sebuah kesatuan yang menciptakan dunianya sendiri.
Penyair dalam ruang kesadaran batinnya, akan bergerak mengambil sekelumit
jarak. Untuk merefleksikan semua daya yang pernah singgah dalam hidupnya.
Dalam dunia puisi yang dibentuknya, penyair mengolah timbunan
tragedi, kenangan, separuh napas kesunyian, atau pernyataan hidup yang getir.
Untuk sebuah cinta, puisi dapat menyentak, jika hidup tak melulu dipandang
hitam putih, ada yang kelabu (sebagaimana tertuang dalam sajak-sajak Goenawan
Mohammad).
Di sinilah sayap imajinasi puisi bergerak. Menciptakan gejala
hubungan timbal-balik terhadap kehidupan itu sendiri. Saya tak bermaksud
mengungkapkan teori, bagi saya teori hanyalah cecapan lidah, terkadang abai
untuk dipraktekkan secara menyeluruh ketika berhadapan dengan karya sastra.
Membaca sastra adalah membaca “rasa” yang seringkali berhadapan
dengan sisi subyektif. Meskipun sebagai pembaca dibekali dari pengetahuan yang
sebelumnya. Imajinasi yang hadir dalam kumpulan puisi ini, memberikan sebuah
“sketsa” lain – persentuhan antara imajiansi dengan realitas yang ada. Walaupun
sebagian besar puisi dalam antologi ini aroma peristiwa (berita/realitas)
begitu kentara.
Simaklah bagaimana Acep Zamzam Noor mengisahkannya: Ada banyak
cara/Untuk bisa keliling dunia/ Salah satunya/Karena dikejar KPK// Ada banyak
cara/ Untuk menangkal tuduhan korupsi/ Salah satunya/ Bersedia digantung di
Monas// (hal. 37; Puisi Menolak Korupsi 2 a). Atau Isbedy Stiawan ZS yang
mernulis akhir puisinya dengan sentakan yang parau: kau tak pernah akan mengerti
anakku,/ kenapa ayah korupsi, kecuali ibumu yang tahu/ atau perempuan-perempuan
yang kutemu di jalan/ mau pun kamar hotel…// (hal. 9; Puisi Menolak Korupsi 2
b).
Antologi puisi ini terbit dalam dua jilid. 2 a & 2 b; sebuah
literer kata-kata yang panjang. Kumpulan yang memberikan semacam ”kabar” – jika
korupsi telah menjadi tradisi yang bebal di negeri ini. Ditulis oleh 197 orang,
yang setidaknya memberikan sejumlah gambaran bila korupsi telah memasuki
wilayah yang sangat kritis di negeri ini. Suatu keadaan membuat citra negeri
ini seperti tergadai, tak bisa bangkit lagi. Bahkan lebih gilanya lagi, korupsi
muncul menjadi lintah – yang tak pernah kenyang untuk mengisap uang negara.
Dengan berbalut pada sejumlah tender proyek, dana fiktif anggaran, seperti
sebuah akar yang kuat di setiap lembaga negara. Akar yang mesti ”diamputasi” –
tapi nyatanya muncul oknum-oknum yang membuat terperangah ihwal perbuatan
korup-nya.
Puisi-puisi yang hadir memang sebentuk upaya untuk mengingatkan.
Sekadar menepuk wilayah kesadaran setiap orang – dengan balutan realitas yang
terjadi supaya tidak tercebur ke dalamnya. Jika korupsi, ternyata lebih
berbahaya dari narkoba. Yang mematikan daya hidup sampai ke anak cucu.
Setiap nominal hasil korupsi, sesungguhnya berasal dari tetes
keringat orang banyak. Hak orang yang digunting – padahal dalam kondisi yang
sangat membutuhkan. Ihwal ”ketegaan” inilah yang menjangkiti perilaku para
koruptor. Seakan-akan tak memiliki hati nurani.
Di antara kebobrokan masalah korupsi inilah, dengan kondisi yang
mencemaskan puisi-puisi ditulis. Ia semacam obat, mungkin – untuk membuka semua
topeng yang melingkupi keadaan sekarat negeri ini. Tentu harapannya, negeri ini
tak segera tamat. Setidaknya, puisi-puisi ini dapat menjadi cermin diri, yang
menjadikan pakem saat melakukan suatu tindakan. Menjadi tanda arah bagi
generasi selanjutnya. Meskipun, ungkap Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi
”Jembatan”: Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa// (hal.
282; Puisi Menolak Korupsi 2 b).
*) Alex R Nainggolan, penikmat puisi, tinggal di Poris
Plawad.
sastra-indonesia.com
Posting Komentar