Kata orang apalah arti nama. Ya, apa artinya nama? Apakh pada
akhirnya nama memang sesuatu yang benar-benar ‘unik’, yang dapat membedakan
‘kita’ dengan ‘yang lain’? Nah, kalau sama terus kenapa? Dan kalau beda, memang
mau apa?
Pertanyaan itu mungkin bisa kita renungkan bersama. Walaupun
perkara ‘nama’ ini kelihatannya sederhana tetapi sebenarnya ada “politik
identitas” yang termuat di dalamnnya loh… Aduh, hari gini masih ngomong
politik? Enggak banget ya?! Eits, tenang… Politik identitas ini punya definisi
yang beda dari politik kekuasan. Nah, sebelum kita masuk ke “politik identitas”
itu kita pelajari dulu yuk asal-usul nama Indonesia…
Sebelum kedatangan bangsa Eropa
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka
nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai atau
Kepulauan Laut Selatan. Berbagai catatan kuno bangsa Indiamenamai kepulauan ini
Dwipantara, Kepulauan Tanah Seberang, nama yang diturunkan dari kata
Sansekerta,dwipa, yang berarti pulau dan antara yang berarti luar atau
seberang.
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Ramayang diculik Ravana, sampai ke
Suwarnadwipa, Pulau Emas, yaitu Sumatra (sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi, Kepulauan
Jawa. Nama Latin untuk kemenyan adalahbenzoe, berasal dari bahasa Arab luban
jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang
pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh
orang Arab, bahkan bagi orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Para pedagang di
Pasar Seng, Mekkah menyebut, “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi” atau
“Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa”.
Masa kedatangan Bangsa Eropa
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang beranggapan jika Asia hanya terdiri dari Arab,
Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara
Persia dan Cina semuanya adalah Hindia. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut
“Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”, sedangkan
tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian
Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies ,
Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu”
(*Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais).
Ketika tanah ini dijajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang
digunakan adalah Nederlandsch- Indie atau Hindia Belanda, sedangkan pemerintah
pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah Hindia Timur atau To-Indo.
Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah mengusulkan namayang spesifik untuk menyebutkan kepulauan
tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa
Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer.
Bagi orangBandung , Insulinde mungkin hanya dikenal sebagai nama toko buku yang
pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
(1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli),
memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “
India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah
tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton,
naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu
diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom
pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan
Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa
Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa
(antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari
Jawadwipa (Pulau Jawa). Kata-kata ini sendiri termuat dalam Sumpah Palapa yang
dikumandangkan Gajah Mada, ”Lamun huwus kalah Nuswantara, isun amukti palapa”,
“jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat”. Oleh
Dr. Setiabudi katanusantara zaman Majapahit tersebut diberi pengertian yang
nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini
memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”,
sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi Nusantara yang modern. Istilah
Nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai
alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah Nusantara tetap
kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke.
Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Lalu dari mana
gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul?
Nama Indonesia
Tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan,
Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh
James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana
hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli
etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan
diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis
artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations.” Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah
tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki
nama khas, a distinctive name, sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering
rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama,
Indunesia atau Malayunesia, nesos, dalam bahasa Yunani berarti Pulau. Pada
halaman 71 artikelnya itu tertulis, “… the inhabitants of the Indian
Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or
Malayunesians.”
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia, Kepulauan Melayu,
daripada Indunesia atau Kepulauan Hindia, sebab Malayunesia sangat tepat untuk
ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan
Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di
seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah
Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu
juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of
the Indian Archipelago, Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya
nama khas bagi kepulauan ini, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu
panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan
huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah
istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan
tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan,“Mr. Earl suggests the
ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I
prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter
synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago.” Ketika mengusulkan
nama Indonesia agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu
akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat
terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia”
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar
di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru
besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905)
menerbitkan bukuIndonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak
lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air
kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah
“Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa
istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara
lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Putra pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah
Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ketika di buang ke negeri Belanda
tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan namaIndonesische
Pers-bureau.
Masa Kebangkitan Nasional: Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama Indonesia yang merupakan istilah
ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama Indonesia akhirnya memiliki makna
politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.
Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata
ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang
mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi
pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, yang terbentuk tahun 1908
dengan nama Indische Vereeniging, berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging
atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka.
Dalam satu tulisannya Bung Hatta menegaskan, “Negara Indonesia
Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil
disebut Hindia Belanda. Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu
tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan
suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia
(Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.“
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische
Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong
Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij
(Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa
dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober
1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang
anggota Volksraad, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama
“Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi
Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah namun masukkanya
Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 membuat Hindia Belanda ‘lenyap’ dan pada
akhirnya tergantikan dengan Republik Indonesia.
http://absolutelyindonesia.com/sejarah-asal-usul-namaindonesia/
Posting Komentar